Sepertinya kursi ini cukup
panjang, cukup untuk menopang lebih dari hanya aku. Disinilah aku kala langit
mulai sendu, di bangku taman favoritmu. Saat ku Tanya mengapa kursi ini menjadi
kesukaanmu, karena ada segerombol Bunga Sepatu disamping kursi ini katamu. Aku tersenyum.
Kau menyukai Bunga Sepatu. Kau selalu menyelipkan satu Kembang Sepatu dijalinan
kepang rambutku.
Disinilah aku, duduk di kursi
taman favorimu, menjadi tim sorak sorai tandingmu yang paling diam. Derap langkah
mengampiriku, kau duduk tepat disampingku dan hanya diam. Aku menoleh ke
arahmu, tersenyum hangat, memejamkan mata lalu menarik nafas dalam-dalam. Ini
bukan aroma tubuhmu.
Aku masih marah pada mu dan tak
ingin sedikitpun mendapat gandenganmu. Tapi bagaimana bisa aku sampai rumah
dengan selamat tanpa kau. Pun, bukan Bani namanya jika tak mampu melelehkan
lilin-lilin penerang hatiku. Tawaku pecah berkat leluconmu sore itu.
“Bani, aku selalu bertanya-tanya.
Sebesar apakah taman itu? Menurut ceritamu ada banyak bangku disana, juga kau
selalu main sepak bola setiap sore. Banyak juga penjual makanan.” Kau tertawa
dan merengkuh bahuku, menarik ke dekapanmu. Kau bilang suatu saat nanti kita
akan melihat taman itu, duduk di bangku kesukaanmu, menonton surya pulang ke peraduannya.
Katamu senja amat indah.
Aku selalu ingin melihat taman
yang rumputnya hijau itu. Aku selalu ingin melihat kursi yang kita duduki. Aku
ingin melihat Hibiscus rosa yang
bertandang di jalinan rambut merahku. Aku ingin melihat binar-binarmu yang terpana
pada keindahan senja. Aku ingin melihat kau.
Aku menyukai bau keringatmu, ya
hanya itu yang kukenal dari kau, Ban. Oh aku rindu memandang wajahmu, mengagumi
senyummu, menjadi penyorak yang bersuara melihat kau berlari-larian mengejar
bola. Bani, jantan keturunan Minang yang gemar sekali bola sepak, memilih aku,
gadis albino tuna netra campuran Sunda Rusia.
Di sini lagi aku duduk, pada
mentari yang sinarnya terus redup. Sebentar lagi malam dijemput, tapi aku tak
ingin beranjak. Aku masih merasakan ramai-ramai taman yang setiap sore aku dan
Bani datangi. Mengingat-ingat bau keringat selepas lelarian Bani. Me-reka ulang
setiap momen Hibiscus rosa
diselipkannya, Bunga Sepatu kalau kata Bani.
Aku tertawa. Aku bahagia
mengingat ingat yang terjadi saat aku belum dapat melihat dunia. Aku tertawa,
mengingat-ingat lelucon yang dilontarkannya. Tangisku pecah, seiring dengan
tawa yang sedari tadi tengah buncah. Aku tak malu menyimpan rindu meski kisah
kami telah ditelanjangi takdir. Tak mampu ku bendung pilu-pilu yang telah
melaut ini, ombaknya terlalu besar. Kehilanganmu rasanya lebih pedih dari pada
kenyataan terlahir buta.
Bani adalah alasan aku ingin
melihat dunia, melihat Bani, karena Banilah duniaku. Aku bersikeras ingin
melalukan operasi mata. Aku ingin melihat Bani, meskipun bersanding di
pelaminan bersama Sonia, wanita yang kini menjadi isterinya. Runtuh, janji yang
dahulu pernah bani ucapkan, tentang senja dan kami. Tentang malam dan beribu bintang,
Bani memang melingkarkan cincin pilihannya pada jari manisku, tetapi bukan
sebagai tanda ia milikku. Aku yang miliknya, perasaanku terpenjara, hanya untuk
Bani.
Aku mencari-cari keberadaan
ayahku, pria Rusia yang tak bertanggungjawab meninggalkan wanita Sunda yang
dihamilinya. Aku ingin ia memberikan penyembuhan dan membayar semua derita yang
ibu dan aku rasakan. Semua pengucilan yang aku dan ibu terima, lelaki yang
secara biologis adalah ayahku itu, ia harus bertangggung jawab untuk setiap
detik ibu menderita, untuk setiap tangis aku kehilangan Bani.
Bani menjadi satu-satunya teman
dan kekasih di saat manusia-masnusia naif itu menjauhiku. Kau bersinar, kata
bani. Kau berlian, mana mungkin aku tak
ingin berteman denganmu, malah aku ingin memilikimu, aku masih teringat
ucap Bani terdahulu. Pigmen kulit sialan ini melemahkanku, sekaligus
menguatkanku. Karenanya aku memiliki Bani, dan kehilangan Bani.
Aku masih di bangku kesukaan
Bani, menunggu ia selesaikan pertandingannya. Entah apa yang terjadi sore itu,
ramai-ramai suara orang berlarian. Kesana kemari, tak beraturan. Aku tegang,
menunggu Bani menghampiriku. Cukup lama, tak juga ia datang. Mungkinkah di
taman ini ditanam bom? Entahlah, mana aku tahu. Aku masih buta waktu itu.
Teman Bani mengantarku pulang,
aku tak berhenti menangis sepanjang jalan. Tak ingin memberi tahuku atau apa,
katanya Bani kecelakaan saat main bola. Kepalanya terbentur, entahlah aku tak
dijelaskan dengan rinci. Yang ku bisa hanya mendoakan kesehatan dan keselamatan
Bani. AKu minta Rido menjemputku nantinya untuk menjenguk Bani.
Sehari ia tak datang. Dua hari,
tiga hari, seminggu berlalu. Rido tak pernah datang. Mungkinkah Bani mati?
Akupun ingin mati.
Entah apa rencana Tuhan, aku dan
pria itu dipertemukan. Semua dikabulkannya, pengobatanku, operasiku. Aku
dirawat dengan baik olehnya. Ia dan ibu bersatu lagi. Begitulah cinta, sesakit apapun
ibu terluka, nyatanya ia rela terluka lagi. Ibu tinggal dengan Adri di Inggris.
Aku kembali ke Indonesia, ingin melihat pernikahan Bani. Itulah kabar terakhir
yag aku ketahui tentang Bani, ia akan menikah.
Aku lupa tentang semua pengobatan
yang aku jalani di Inggris, ternyata itu memakan waktu cukup lama. Tentu saja
Bani sudah menikah saat aku kembali. undangan pernikahannya kudapati di dalam
rumah. Pasti mereka menyelipkannya dari bawah pintu, pikirku. Ternyata Bani
amat tampan, ia tampak bahagia merangkul seorang wanita pada foto di undangan
ini, pasti calon mempelai wanitanya.
Hatiku memang hancur, tapi aku
hanya iingin bertemu Bani saat ini. Aku ingin memandanginya dari dekat, dari
jarak 10 cm, aku sudah lama tidak membaui keringatnya. Ahh keringat, aku
teringat sesuatu, kulirik jam yang tersangkut di atas tv. Pukul tiga sore, jam
empat adalah jadwal Bani bermain futsal di taman. Apalagi yang aku tunggu,
segera bersiap-siap menonton pertandingan Bani. Sore ini aku akan menjadi
penyorak paling semangat, menyaksikan langsung Bani berlari-larian mengejar
Bola.
Aku berjalan perlahan, mengagumi
setiap keindahan tempat yang membesarkanku, tempat yang juga menjadi saksi aku
dan Bani Berkasih-kasih. Bangku taman, aku melihat banyak sekali bangku di
taman ini. Yang mana satu menjadi kesukaan Bani, aku akan datang kesana. Aku
tengah membawa serangkaian Kembang Sepatu di tangan kananku, untuk Bani.
Pohon Hibiscus rosa yang tegap berdiri di samping bangku itu ku
pandangi lekat-lekat. Bunganya tengah bermekaran, indah, seperti yang ada di
genggamanku. Sementara bangku itu, seorang pria dan wanita tengah duduk di
sana, begitu dekat, mereka tak berjarak, meskipun sepuluh centi. Jantungku
berdegup, aku perlahan mendekat, selangkah demi selangkah aku maju. Itukah
Bani?, pikirku. Perlahan kudapati pria yang tengah duduk itu beranjak,
langkahku terhenti. Aku memaku di balik mereka, diam, memperhatikan setiap
gerak geriknya.
Ia beranjak, tadinya duduk,
sekarang berdiri. Badannya menghadap depan, ke arah taman,lalu setengah
badannya menoleh kesamping, ke arah wanita itu.
Aku memandanginya, aku tak tahu ia Bani atau bukan, aku ragu. Aku masih
memandanginya lekat-lekat. Lalu diselipkannya Kembang Sepatu pada rambut wanita
itu. Tak salah lagi, itu Bani. Hatiku bergetar, entah bagaimana rasanya. Kakiku
lemas, tapi masih mampu menopang tubuh kurus ini. Ia tersenyum bahagia sekali
menatap wanita itu. Hatiku bagai sebuah gelas yang dihempas, hancur.
Entah bagaimana ia bergelagat,
tak terlalu jelas dalam jangkauan pandangku, semua tampak buram. Pelan-pelan
air mata ini menetes, dari pangkal mataku, aku tak sekalipun berkedip. Tak
ingin ku lepas pandangku dari padanya. Tiba-tiba dalam tegaknya, tampaklah aku,
kami bersitatap. Aku buru-buru menghapus air mata yang menetes ini. Aku ingin
memandang Bani dengan jelas. Kaget, aku menangkap jelas kekagetan dalam diri
bani. Ia terpaku memandangku, aku melempar senyum pada Bani.
Aku bahagia bertatapan dengan
Bani, meskipun bukan dengan jarak sepulu centi. Ia masih mematung,
memandangiku. Aku ingin Bani menghampiriku, lalu aku memberikan Kembang Sepatu
kesukaannya. Harapan itu sirna seiring bangkitnya wanita di samping Bani. Ia
beranjak, mengimbangi posisi Bani berdiri. Tanpa aba-aba ia mencium pangkal
leher bani, lalu pipinya dan semena-mena ia memeluk Bani.
Tiba-tiba dadaku terasa sesak,
sulit sekali rasanya mengambil nafas. Sekujur tubuhku lemas, jari-jemari tak sanggup
menggenggam, Bunga Sepatu itu lepas dari genggamanku. Kaki-kaki ku lemas, tak
mampu lagi aku menopang tubuh kecilku ini. Aku jatuh, aku rubuh. Aku menatap
hijaunya rerumputan dalam tundukku, tangis ini pecah. Aku menangis
sejadi—jadinya, menepuk-nepuk dadaku agar tak terasa sesak. Tak berfungsi, aku
seperti pecahan gelas kaca yang dihempas lagi.
Seseorang menangkap bahuku,
dibawanya aku berdiri. Kudapati Bani masih memeluk wanita itu. Hancurnya aku,
semua kebahagiaan yang pernah aku impikan sirna sudah. Bani tak menghampiriku,
ia bahkan tak melempar satu senyum. Aku masih memandangi Bani memeluk wanita
itu, dalam pandang yang kian kabur, dalam jarak yang makin jauh. Rido membawaku
pergi, menceritakan apa yang terjadi selama kepergianku.
Sudah hampir pukul enam,
polisi-polisi itu membiarkanku duduk menikmati senja di taman ini. Sendirian.
Taman ini milikku, bangku ini miikku, Bunga Sepatu ini milikku, senja ini
milikku. Mereka membiarkanku terbenam dalam kenangan. Seorang polisi muda lalu
menghampiriku, ia duduk di sebelahku tanpa meminta persetujuan.
“Mengapa anda membunuh Sonia? ”,
tanyanya. Aku menoleh, menatapnya dalam-dalam. “Aku hanya menembak Sonia”,
jawabku singkat. “Cinta memang menyesatkan”, pungkas polisi muda itu.
Rido membawaku pergi, enyah dari
hadapan Sonia dan Bani waktu itu. Rido menceritakan semuanya. Bani kecelakaan
waktu main bola, kepalanya terbentur. Bani dirawat lima hari di rumah sakit.
Hari ke enam ia sudah pulang dan berencana menemuiku. Entah kemana takdir
membawa cerita, Bani mengalami kecelakaan lagi. Motornya ditabrak gadis yang
tengah mengendarai sepeda motor. Keadaan Bani sangat parah waktu itu. Entah ia
tertolong atau tidak.
Rido terlalu sibuk mengurusi
segala sesuatunya hingga ia lupa memberiku kabar. Seminggu berlalu dari
kecelakaan itu, kondisi Bani membaik. Tetapi Bani harus kehilangan
penglihatannya. Entah malaikat apa yang ada pada diri Sonia, ia mendonorkan
matanya untuk Bani. Operasi berhasil, Bani sembuh dan dapat melihat kembali.
sejak kesembuhannya, hanya aku lah yang dipikirkannya. Bani mencari-cari aku,
tapi tak pernah dijumpainya aku. Aku seperti menghilang begitu saja, tanpa
memberi kabar, tanpa memperhatikannya, tanpa tahu kabarnya. Aku hanya hilang
dan meninggalkannya.
Sejak tak mendapat kabar dari
Bani dan mengira bani mati, dengan semua kebingungan itu, takdir mempertemukan
aku dengan ayahku, aku pergi ke Inggris, dibawanya untuk pengobatanku. Selama
kepergianku, Bani merasa hancur. Ia merasa lebih hancur setelah tahu wanita yang
menabraknya kini buta, demi mendonorkan matanya untuk Bani.
Ayah Sonia melamar Bani, putrinya
ternyata jatuh cinta dan rela memberi hidupnya pada Bani. Berhutang budi, patah
hati, atau entah apa yang Bani rasakan, ia menerima Sonia. Orang tua Sonia
mencari pendonor yang rela memberikan matanya untuk Sonia. Bani ingin menikahi
Sonia tanpa Sonia harus melihat lagi. Namun ayahnya bersikeras pernikahan akan
dilangsungkan setelah Sonia operasi dan bisa melihat lagi.
Tiga bulan sebelum kepulanganku
ke Indonesia, mereka menikah.
“Cinta tidak menyesatkan. Cinta
hanya sebuah jalan panjang yang kau tak tahu ujungnya. dan aku tersesat di
dalamnya.”, tandasku. Polisi itu tersenyum. “Dan setelah mengorbankan dirimu
seperti iini, kau tetap tidak mendapatkan Bani”.
“Aku hanya mengirim wanita
malaikat itu ke surga”, aku menyeringai, membalas senyumnya. “aku mengirim ia
ke tempat di mana ia seharusnya berada”.
Setalah Rido menceritakan
semuanya, aku berlari lagi menuju taman. Aku berlari pada Bani, aku
tergesa-gesa, hampir jatuh dalam perlombaan kedua kakiku. Aku masuk dalam
lingkaran mereka, permainan bola terhenti. Semua mematung, memandangiku. Aku
tersenyum pada Bani, menitikkan sedikit air mata. aku bahagia bisa melihatnya.
Aku berlari ke arah Bani. Aku memeluknya dengan erat. Bani menerimaku, ia balas
pelukan itu dengan erat. Aku terisak dalam peluknya.
“Aku mencintaimu Bani”, bisikku
padanya.
“Aku jauh lebih mencintaimu,
Berlian”, jawab Bani dalam sedunya.
Mendengar ucapan Bani, sesuatu
bangkit dari dalam diriku. Aku merogoh saku kanan jaketku, mengeluarkan pistol
yang dari tadi tidur nyenyak disana. Dalam pelukan Bani, aku mengarahkan
bidikan pada wanita yang tengah berdiri di depan kursi.
“Aku mencintaimu Bani”. Lalu
menarik pelatuknya tepat pada wanita itu. ia tersungkur, memegangi perutnya.
Bani melepaskan pelukanku, kaget. Ia melihat sekeliling, didapatinya aku dan
wanita itu. Ia lari mengejar Sonia. Bani menangis sejadi-jadinya, memeluki
tubuh Sonia yang terkulai layu.
“Aku membencimu!”, Bani
mengucapkannya berkali-kali. Melihat ke arahku, matanya berapi-api, ia
membenciku.
…
Pigmen kulit sialan ini
melemahkanku, sekaligus menguatkanku. Karenanya aku memiliki Bani, dan
kehilangan Bani. Aku mengirim Sonia dan Junior yang berusia dua bulan di dalam
perutnya ke surga. Bani mengirimku ke balik jeruji.