Minggu, 11 Maret 2018

Bangku Taman



Sepertinya kursi ini cukup panjang, cukup untuk menopang lebih dari hanya aku. Disinilah aku kala langit mulai sendu, di bangku taman favoritmu. Saat ku Tanya mengapa kursi ini menjadi kesukaanmu, karena ada segerombol Bunga Sepatu disamping kursi ini katamu. Aku tersenyum. Kau menyukai Bunga Sepatu. Kau selalu menyelipkan satu Kembang Sepatu dijalinan kepang rambutku.
Disinilah aku, duduk di kursi taman favorimu, menjadi tim sorak sorai tandingmu yang paling diam. Derap langkah mengampiriku, kau duduk tepat disampingku dan hanya diam. Aku menoleh ke arahmu, tersenyum hangat, memejamkan mata lalu menarik nafas dalam-dalam. Ini bukan aroma tubuhmu.
Aku masih marah pada mu dan tak ingin sedikitpun mendapat gandenganmu. Tapi bagaimana bisa aku sampai rumah dengan selamat tanpa kau. Pun, bukan Bani namanya jika tak mampu melelehkan lilin-lilin penerang hatiku. Tawaku pecah berkat leluconmu sore itu.
“Bani, aku selalu bertanya-tanya. Sebesar apakah taman itu? Menurut ceritamu ada banyak bangku disana, juga kau selalu main sepak bola setiap sore. Banyak juga penjual makanan.” Kau tertawa dan merengkuh bahuku, menarik ke dekapanmu. Kau bilang suatu saat nanti kita akan melihat taman itu, duduk di bangku kesukaanmu, menonton surya pulang ke peraduannya. Katamu senja amat indah.
Aku selalu ingin melihat taman yang rumputnya hijau itu. Aku selalu ingin melihat kursi yang kita duduki. Aku ingin melihat Hibiscus rosa yang bertandang di jalinan rambut merahku. Aku ingin melihat binar-binarmu yang terpana pada keindahan senja. Aku ingin melihat kau.
Aku menyukai bau keringatmu, ya hanya itu yang kukenal dari kau, Ban. Oh aku rindu memandang wajahmu, mengagumi senyummu, menjadi penyorak yang bersuara melihat kau berlari-larian mengejar bola. Bani, jantan keturunan Minang yang gemar sekali bola sepak, memilih aku, gadis albino tuna netra campuran Sunda Rusia.
Di sini lagi aku duduk, pada mentari yang sinarnya terus redup. Sebentar lagi malam dijemput, tapi aku tak ingin beranjak. Aku masih merasakan ramai-ramai taman yang setiap sore aku dan Bani datangi. Mengingat-ingat bau keringat selepas lelarian Bani. Me-reka ulang setiap momen Hibiscus rosa diselipkannya, Bunga Sepatu kalau kata Bani.
Aku tertawa. Aku bahagia mengingat ingat yang terjadi saat aku belum dapat melihat dunia. Aku tertawa, mengingat-ingat lelucon yang dilontarkannya. Tangisku pecah, seiring dengan tawa yang sedari tadi tengah buncah. Aku tak malu menyimpan rindu meski kisah kami telah ditelanjangi takdir. Tak mampu ku bendung pilu-pilu yang telah melaut ini, ombaknya terlalu besar. Kehilanganmu rasanya lebih pedih dari pada kenyataan terlahir buta.
Bani adalah alasan aku ingin melihat dunia, melihat Bani, karena Banilah duniaku. Aku bersikeras ingin melalukan operasi mata. Aku ingin melihat Bani, meskipun bersanding di pelaminan bersama Sonia, wanita yang kini menjadi isterinya. Runtuh, janji yang dahulu pernah bani ucapkan, tentang senja dan kami. Tentang malam dan beribu bintang, Bani memang melingkarkan cincin pilihannya pada jari manisku, tetapi bukan sebagai tanda ia milikku. Aku yang miliknya, perasaanku terpenjara, hanya untuk Bani.
Aku mencari-cari keberadaan ayahku, pria Rusia yang tak bertanggungjawab meninggalkan wanita Sunda yang dihamilinya. Aku ingin ia memberikan penyembuhan dan membayar semua derita yang ibu dan aku rasakan. Semua pengucilan yang aku dan ibu terima, lelaki yang secara biologis adalah ayahku itu, ia harus bertangggung jawab untuk setiap detik ibu menderita, untuk setiap tangis aku kehilangan Bani.
Bani menjadi satu-satunya teman dan kekasih di saat manusia-masnusia naif itu menjauhiku. Kau bersinar, kata bani. Kau berlian, mana mungkin aku tak ingin berteman denganmu, malah aku ingin memilikimu, aku masih teringat ucap Bani terdahulu. Pigmen kulit sialan ini melemahkanku, sekaligus menguatkanku. Karenanya aku memiliki Bani, dan kehilangan Bani.
Aku masih di bangku kesukaan Bani, menunggu ia selesaikan pertandingannya. Entah apa yang terjadi sore itu, ramai-ramai suara orang berlarian. Kesana kemari, tak beraturan. Aku tegang, menunggu Bani menghampiriku. Cukup lama, tak juga ia datang. Mungkinkah di taman ini ditanam bom? Entahlah, mana aku tahu. Aku masih buta waktu itu.
Teman Bani mengantarku pulang, aku tak berhenti menangis sepanjang jalan. Tak ingin memberi tahuku atau apa, katanya Bani kecelakaan saat main bola. Kepalanya terbentur, entahlah aku tak dijelaskan dengan rinci. Yang ku bisa hanya mendoakan kesehatan dan keselamatan Bani. AKu minta Rido menjemputku nantinya untuk menjenguk Bani.
Sehari ia tak datang. Dua hari, tiga hari, seminggu berlalu. Rido tak pernah datang. Mungkinkah Bani mati? Akupun ingin mati.
Entah apa rencana Tuhan, aku dan pria itu dipertemukan. Semua dikabulkannya, pengobatanku, operasiku. Aku dirawat dengan baik olehnya. Ia dan ibu bersatu lagi. Begitulah cinta, sesakit apapun ibu terluka, nyatanya ia rela terluka lagi. Ibu tinggal dengan Adri di Inggris. Aku kembali ke Indonesia, ingin melihat pernikahan Bani. Itulah kabar terakhir yag aku ketahui tentang Bani, ia akan menikah.
Aku lupa tentang semua pengobatan yang aku jalani di Inggris, ternyata itu memakan waktu cukup lama. Tentu saja Bani sudah menikah saat aku kembali. undangan pernikahannya kudapati di dalam rumah. Pasti mereka menyelipkannya dari bawah pintu, pikirku. Ternyata Bani amat tampan, ia tampak bahagia merangkul seorang wanita pada foto di undangan ini, pasti calon mempelai wanitanya.
Hatiku memang hancur, tapi aku hanya iingin bertemu Bani saat ini. Aku ingin memandanginya dari dekat, dari jarak 10 cm, aku sudah lama tidak membaui keringatnya. Ahh keringat, aku teringat sesuatu, kulirik jam yang tersangkut di atas tv. Pukul tiga sore, jam empat adalah jadwal Bani bermain futsal di taman. Apalagi yang aku tunggu, segera bersiap-siap menonton pertandingan Bani. Sore ini aku akan menjadi penyorak paling semangat, menyaksikan langsung Bani berlari-larian mengejar Bola.
Aku berjalan perlahan, mengagumi setiap keindahan tempat yang membesarkanku, tempat yang juga menjadi saksi aku dan Bani Berkasih-kasih. Bangku taman, aku melihat banyak sekali bangku di taman ini. Yang mana satu menjadi kesukaan Bani, aku akan datang kesana. Aku tengah membawa serangkaian Kembang Sepatu di tangan kananku, untuk Bani.
Pohon Hibiscus rosa yang tegap berdiri di samping bangku itu ku pandangi lekat-lekat. Bunganya tengah bermekaran, indah, seperti yang ada di genggamanku. Sementara bangku itu, seorang pria dan wanita tengah duduk di sana, begitu dekat, mereka tak berjarak, meskipun sepuluh centi. Jantungku berdegup, aku perlahan mendekat, selangkah demi selangkah aku maju. Itukah Bani?, pikirku. Perlahan kudapati pria yang tengah duduk itu beranjak, langkahku terhenti. Aku memaku di balik mereka, diam, memperhatikan setiap gerak geriknya.
Ia beranjak, tadinya duduk, sekarang berdiri. Badannya menghadap depan, ke arah taman,lalu setengah badannya menoleh kesamping, ke arah wanita itu.  Aku memandanginya, aku tak tahu ia Bani atau bukan, aku ragu. Aku masih memandanginya lekat-lekat. Lalu diselipkannya Kembang Sepatu pada rambut wanita itu. Tak salah lagi, itu Bani. Hatiku bergetar, entah bagaimana rasanya. Kakiku lemas, tapi masih mampu menopang tubuh kurus ini. Ia tersenyum bahagia sekali menatap wanita itu. Hatiku bagai sebuah gelas yang dihempas, hancur.
Entah bagaimana ia bergelagat, tak terlalu jelas dalam jangkauan pandangku, semua tampak buram. Pelan-pelan air mata ini menetes, dari pangkal mataku, aku tak sekalipun berkedip. Tak ingin ku lepas pandangku dari padanya. Tiba-tiba dalam tegaknya, tampaklah aku, kami bersitatap. Aku buru-buru menghapus air mata yang menetes ini. Aku ingin memandang Bani dengan jelas. Kaget, aku menangkap jelas kekagetan dalam diri bani. Ia terpaku memandangku, aku melempar senyum pada Bani.
Aku bahagia bertatapan dengan Bani, meskipun bukan dengan jarak sepulu centi. Ia masih mematung, memandangiku. Aku ingin Bani menghampiriku, lalu aku memberikan Kembang Sepatu kesukaannya. Harapan itu sirna seiring bangkitnya wanita di samping Bani. Ia beranjak, mengimbangi posisi Bani berdiri. Tanpa aba-aba ia mencium pangkal leher bani, lalu pipinya dan semena-mena ia memeluk Bani.
Tiba-tiba dadaku terasa sesak, sulit sekali rasanya mengambil nafas. Sekujur tubuhku lemas, jari-jemari tak sanggup menggenggam, Bunga Sepatu itu lepas dari genggamanku. Kaki-kaki ku lemas, tak mampu lagi aku menopang tubuh kecilku ini. Aku jatuh, aku rubuh. Aku menatap hijaunya rerumputan dalam tundukku, tangis ini pecah. Aku menangis sejadi—jadinya, menepuk-nepuk dadaku agar tak terasa sesak. Tak berfungsi, aku seperti pecahan gelas kaca yang dihempas lagi.
Seseorang menangkap bahuku, dibawanya aku berdiri. Kudapati Bani masih memeluk wanita itu. Hancurnya aku, semua kebahagiaan yang pernah aku impikan sirna sudah. Bani tak menghampiriku, ia bahkan tak melempar satu senyum. Aku masih memandangi Bani memeluk wanita itu, dalam pandang yang kian kabur, dalam jarak yang makin jauh. Rido membawaku pergi, menceritakan apa yang terjadi selama kepergianku.
Sudah hampir pukul enam, polisi-polisi itu membiarkanku duduk menikmati senja di taman ini. Sendirian. Taman ini milikku, bangku ini miikku, Bunga Sepatu ini milikku, senja ini milikku. Mereka membiarkanku terbenam dalam kenangan. Seorang polisi muda lalu menghampiriku, ia duduk di sebelahku tanpa meminta persetujuan.
“Mengapa anda membunuh Sonia? ”, tanyanya. Aku menoleh, menatapnya dalam-dalam. “Aku hanya menembak Sonia”, jawabku singkat. “Cinta memang menyesatkan”, pungkas polisi muda itu.
Rido membawaku pergi, enyah dari hadapan Sonia dan Bani waktu itu. Rido menceritakan semuanya. Bani kecelakaan waktu main bola, kepalanya terbentur. Bani dirawat lima hari di rumah sakit. Hari ke enam ia sudah pulang dan berencana menemuiku. Entah kemana takdir membawa cerita, Bani mengalami kecelakaan lagi. Motornya ditabrak gadis yang tengah mengendarai sepeda motor. Keadaan Bani sangat parah waktu itu. Entah ia tertolong atau tidak.
Rido terlalu sibuk mengurusi segala sesuatunya hingga ia lupa memberiku kabar. Seminggu berlalu dari kecelakaan itu, kondisi Bani membaik. Tetapi Bani harus kehilangan penglihatannya. Entah malaikat apa yang ada pada diri Sonia, ia mendonorkan matanya untuk Bani. Operasi berhasil, Bani sembuh dan dapat melihat kembali. sejak kesembuhannya, hanya aku lah yang dipikirkannya. Bani mencari-cari aku, tapi tak pernah dijumpainya aku. Aku seperti menghilang begitu saja, tanpa memberi kabar, tanpa memperhatikannya, tanpa tahu kabarnya. Aku hanya hilang dan meninggalkannya.
Sejak tak mendapat kabar dari Bani dan mengira bani mati, dengan semua kebingungan itu, takdir mempertemukan aku dengan ayahku, aku pergi ke Inggris, dibawanya untuk pengobatanku. Selama kepergianku, Bani merasa hancur. Ia merasa lebih hancur setelah tahu wanita yang menabraknya kini buta, demi mendonorkan matanya untuk Bani.
Ayah Sonia melamar Bani, putrinya ternyata jatuh cinta dan rela memberi hidupnya pada Bani. Berhutang budi, patah hati, atau entah apa yang Bani rasakan, ia menerima Sonia. Orang tua Sonia mencari pendonor yang rela memberikan matanya untuk Sonia. Bani ingin menikahi Sonia tanpa Sonia harus melihat lagi. Namun ayahnya bersikeras pernikahan akan dilangsungkan setelah Sonia operasi dan bisa melihat lagi.
Tiga bulan sebelum kepulanganku ke Indonesia, mereka menikah.
“Cinta tidak menyesatkan. Cinta hanya sebuah jalan panjang yang kau tak tahu ujungnya. dan aku tersesat di dalamnya.”, tandasku. Polisi itu tersenyum. “Dan setelah mengorbankan dirimu seperti iini, kau tetap tidak mendapatkan Bani”.
“Aku hanya mengirim wanita malaikat itu ke surga”, aku menyeringai, membalas senyumnya. “aku mengirim ia ke tempat di mana ia seharusnya berada”.
Setalah Rido menceritakan semuanya, aku berlari lagi menuju taman. Aku berlari pada Bani, aku tergesa-gesa, hampir jatuh dalam perlombaan kedua kakiku. Aku masuk dalam lingkaran mereka, permainan bola terhenti. Semua mematung, memandangiku. Aku tersenyum pada Bani, menitikkan sedikit air mata. aku bahagia bisa melihatnya. Aku berlari ke arah Bani. Aku memeluknya dengan erat. Bani menerimaku, ia balas pelukan itu dengan erat. Aku terisak dalam peluknya.
“Aku mencintaimu Bani”, bisikku padanya.
“Aku jauh lebih mencintaimu, Berlian”, jawab Bani dalam sedunya.
Mendengar ucapan Bani, sesuatu bangkit dari dalam diriku. Aku merogoh saku kanan jaketku, mengeluarkan pistol yang dari tadi tidur nyenyak disana. Dalam pelukan Bani, aku mengarahkan bidikan pada wanita yang tengah berdiri di depan kursi.
“Aku mencintaimu Bani”. Lalu menarik pelatuknya tepat pada wanita itu. ia tersungkur, memegangi perutnya. Bani melepaskan pelukanku, kaget. Ia melihat sekeliling, didapatinya aku dan wanita itu. Ia lari mengejar Sonia. Bani menangis sejadi-jadinya, memeluki tubuh Sonia yang terkulai layu.
“Aku membencimu!”, Bani mengucapkannya berkali-kali. Melihat ke arahku, matanya berapi-api, ia membenciku.
Pigmen kulit sialan ini melemahkanku, sekaligus menguatkanku. Karenanya aku memiliki Bani, dan kehilangan Bani. Aku mengirim Sonia dan Junior yang berusia dua bulan di dalam perutnya ke surga. Bani mengirimku ke balik jeruji.

Selasa, 12 Desember 2017

Bab 2: Gemetar?

Pendaftaran dan tes telah usai, meski sempat tertinggal di hari pertama pendaftaran, Spora dan Laverna semangat datang siang keesokan harinya. Tibalah kegiatan yang ditunggu-tunggu semua siswa, pelaksanan ospek. Spora membenci kegiatan ini, baginya ospek hanya membuang waktu dan energi. Kegiatan ini juga tidak lantas membuat hubungan beratus-ratus siswa baru yang diterima akrab dengan senior yang terlibat mengospek maupun guru-guru.

Berbeda dengan Laverna, ia amat menyenangi kegiatan ini. Hal yang direncanakannya ialah menjatuhkan dan mengerjai senior yang nantinya berlagak songong. Laverna sudah menyiapkan beberapa rencana untuk senior yang bahkan belum mengganggunya.
“Yaaaaah”, teriak siswa yang tengah berkumpul di lapangan.

Hihihi, seringai Spora pada pengumuman yang barusan memberitahu para siswa bahwa masa orientasi akan diisi dengan kegiatan belajar di kelas, seperti mengingat pelajaran dan melakukan bersih-bersih. Spora amat sangat bahagia dengan pengumuman kepala sekolah. Selanjutnya kepala sekolah mengintruksikan siswa untuk masuk ke kelas dan mulai membersihkan ruangan terlebih dahulu.
“Yuk Spor, ke kelas, kelas kita sebelahan”, ajak Laverna pada Spora yang berdiri disebelahnya. 

Tanpa memperhatikan Spora, Laverna melangkah lambat menuju kelas, berharap Spora menyamakan langkah dengannya. Dua menit berlalu namun Spora tak kunjung hadir menyusulnya. Laverna berbalik mencari tahu keberadaan Spora.
Spora yang tertunduk, berjalan mengikuti seorang laki-laki disampingnya.
“Spor, Spooraaaa”, teriak Laverna menyadarkan Spora. Spora mendengar teriakan, lalu ia menarik lengan orang yang ada di samping nya.
“Lav, bentar deh. Kok kayak ada yang manggil ya?”, serta merta ia melihat wajah orang yang dikiranya Laverna.

Betapa kaget bukan kepayang ternyata orang yang dari tadi diikutinya bukan Laverna. Masih dengan ekspresi kaget dan mulut sedikit mengaga ia memandang wajah Rino. Seperti terkena sihir, Spora bahkan tidak mendengar teriakan Laverna yang sedari tadi memanggilnya.

Kesal dengan kelakuan temannya, Laverna berlari kecil menghampiri Spora. Belum ia sampai, dilihatnya anak laki-laki yang dipandangi Spora itu menjatuhkan sesuatu kedalam mulut Spora, lalu ia berseringai dan lari meninggalkan Spora yang masih mematung.

“uhuk, uhuk”, Spora terbatuk-batuk karena serpihan daun-daun yang dijatuhkan kedalam mulutnya tadi kini menggelitik kerongkongannya.
“Udah dipanggili dari tadi, malah ngikut orang gak jelas”, ucap Laverna yang langsung mengajak Spora ke kantin membeli air.
“Lav, kayaknya aku udah terhubung sama anak tadi deh. Namanya Rino, keknya aku suka lah sama dia”, racau Spora pada Laverna.
...
Dua bulan Spora bersekolah, berita Spora menyukai Rino pun menyebar ke seantero sekolah. Mengetahui hal ini, Rino bersikap biasa saja terhadap Spora. Tetapi ia selalu memberikan senyum termanis untuk Spora, dan setiap kali Spora mendapati Rino senyum padanya, ia hanya mematung memandangi Rino sampai anak itu berlalu dari hadapannya.

“Mana mungkin Rino suka sama patung”, ejek Laverna pada tingkah Spora yang tidak wajar ini.
“Ya ampun Lav, nggak ngerti lah aku kenapa kek gitu kalo ketemu sama Rino. Ini pasti cinta pada pandangan pertama. Dia itu manis kali senyumnya, yaudah nanti kalo ketemu sama dia lagi, aku coba nyapa ya”, respon Spora.

Rino dan teman-temannya terbahak-bahak mendengar percakapan yang direkam oleh Lukman, teman Rino. Lukman merekam percakapan Spora dan Laverna saat di kantin. Hari ini siswa diperbolehkan membawa hp ke sekolah karena hanya ada agenda bersih-bersih di sekolah. Mereka penasaran dengan aksi penyapaan Spora pada Rino, sehingga mereka membuat sebuah rencana.

Rino dan teman-temannya mengikuti Spora diam-diam, sampai pada keadaan yang mereka setting, Spora dan Laverna pergi ke toilet. Rino dan teman-temannya sengaja berkerumun tidak jauh dari jalanan menuju toilet, menunggu Spora keluar dan menyapa nya.
~
“Ngerjain bareng di rumah aku aja yuk, Lav. Kalo ada temennya kan enak tuh ngerjain, nggak ngantuk”, ajak Spora membuka percakapan.
“Boleh sih, cuma aku belum kepikiran aja Spor, bahan-bahan untuk membuatnya”, balas Laverna yang sedang berjalan bersamaan dengan Spora. Spora yang tengah memakai jam tangannya melanjutkan percakapan mereka.

“Kalo aku rencananya mau pake gabus, Lav...”, belum selesai Spora melanjutkan penjelasannya, Laverna menepuk-nepuk bahunya. Dengan agak kaget ia melihat kesamping, tepat ke wajah Laverna yang berdiri di sebelahnya. Spora mengikuti arah Laverna melihat, didapatinya Rino sedang berdiri tak jauh dihadapannya. Spora mendelikkan matanya, mulutnya terbuka sedikit, -lagi- ia mematung.

Rino dan teman-temannya diam, menunggu sapaan Spora. Melihat ekspresi Spora yang lagi-lagi aneh –menurutnya, Rino tersenyum pada Spora. Melihat senyum Rino yang melemahkan hatinya, tulang kaki Spora rasanya berubah menjadi jeli, kakinya melemah serasa tak mampu menopang besarnya bahagia yang dirasa.

Tak tahan dengan keadan ini, ia menarik tangan Laverna kemudian berlalu pergi meninggalkan Rino dan kerumunannya. Laverna merasakan genggaman tangan Spora yang dingin, ia tahu pasti sahabatnya ini sedang gugup sekali. Spora berharap bisa melakukan teleportase saat itu juga, ia berharap sudah berada di kelas dan mengembalikan keadaannya yang memalukan.

“Sporaa”, panggil Rino yang lalu menghentikan langkah Spora dan Laverna.

Ya ampun, dia manggil aku, mau ngapain yaaa. Ya yampun, noleh nggak yaa, aduh maluu, racau Spora dalam benaknya. Berharap tak ingin kehilangan kesempatan bercakap dengan Rino, Spora berbalik. Dilihatnya Rino semakin dekat berjalan ke arahnya. Jantung Spora semakin berdebar kencang, digenggamnya tangan Laverna semakin kuat.

“Ini, jam tangan nya tadi jatuh”, Rino memberikan jam tangan Spora.

Dengan ragu, tampak Spora menjulurkan tangannya hendak mengambil jam tangan. Tangannya gemetaran dan pikirannya entah kemana, rasanya seperti ia mau pingsan. Perlahan tapi pasti jam tangan itu berpindah ke tangan Spora.

“Lain kali hati-hati Spor, kalau rusak kan sayang...”, belum sempat ia melanjutkan kalimat, Spora memotongnya dengan cepat.

“Iya, aku juga sayang”, sela Spora pada Rino. Sesaat ia menyadari yang diucapkannya, Spora lalu menambahkan, “e.. emmm, itu maksudnya sayang kok sama jam tangannya”.

Rino yang merasa geli akan tingkah Spora hanya senyum lalu pergi meninggalkan Spora dan Laverna. Setelah ditinggalkan Rino, Spora merasa kakinya benar-benar tidak kuat menopang tubuhnya, ia ambruk, jatuh ke tanah.

“Ya ampun Lav, dia tau namaku. Dia tau namaku, hahaha”, Spora setengah berteriak girang, ia seakan tak percaya kalau Rino mengetahui namanya. Pandangannya tiba-tiba mengabur, air mata setitik menetes di pipinya.
“Spora, ko sampe nangis? Ya ampun, segitu sukanya ko sama dia? Sampe nangis haru gitu?”, respon Laverna pada kelakuan sahabatnya yang diluar nalarnya itu.
...
“Udah setahun pun, tetep nggak berhasil kan? Udah lah move on aja. Lagian suka sama cowok populer sih, susah lah banyak saingan. Bedakmu kurang tebal, pergaulanmu kurang maen, bajumu kurang ketat, main Volly pun nggak bisa, bisa mu lari aja. Hahaha lari dari kenyataan”, ejek Laverna pada Spora yang tengah uring-uringan mendengar kabar jadian Rino dengan pacar barunya.

Tiga bulan setelah mereka aktif belajar di kelas X dulu, Spora sudah patah hati. Rino pujaan hatinya mempunyai pacar, kakak kelas yang cantik. Ini merupakan kejelasan bahwa cewek tipe Rino adalah cewek cantik. Tak berjalan begitu mulus dengan si kakak kelas, Rino putus. Semester kedua Rino berpacaran dengan salah satu anak populer di sekolah yang memiliki pergaulan luas. Bahkan karena pengaruh anak ini, dulu Rino sering kali main ke kelas Spora karena anak laki-laki di kelas Spora pun jadi akrab dengan Rino. Semakin sering Rino main ke kelas Spora, semakin sering Spora absen berada di kelasnya. Kemana ia pergi? Tentu saja melanglang buana mencari informasi seputar Rino.

Setelah semua kisah yang dikuliknya dari temannya yang sekelas dengan Rino, diketahuinya lagi Rino pacaran dengan atlet Volly sekolah. Ya, anak ini tidak terlalu cantik, tapi tentu saja dia berprestasi dan Rino menyukainya. Dibalik keterpurukan Spora yang sudah 3 kali patah hati, kemana perginya sahabat Spora, Laverna? Alih-alih membantu Spora keluar dari kesedihannya, ia asyik menghabiskan waktunya di perpustakaan. Tak sedetikpun ia terlihat berkeliaran di sekolah, pada kesempatan apapun Laverna pasti selalu ke perpustakaan.

Spora kesal dengan kelakuan Laverna yang hobi menghilang, ia memutuskan untuk ke perpustakaan mencari Laverna. Keadaan perpustakaan gelap, tirai jendela tidak dibuka lebar. Spora membenci hal yang tidak sesuai dengan pikirannya. Menurutnya bagaimana bisa mereka tidak memberikan cahaya yang cukup untuk murid-murid yang sedang membaca. Inilah sebab ia malas berada di perpustakaan.
Ditelurusinya lorong demi lorong tak ditemukannya Laverna. Bergerak ke susunan kursi-kursi untuk pembaca, tampak lumayan ramai diisi siswa. Diperhatikan Spora satu persatu tapi tak tampak wajah Laverna ada disana. Merasa sudah membuang-buang waktu, ia memutuskan keluar dan kembali ke kelasnya, menunggu jam istirahat usai.

Dijalan menuju kelas, Spora berpapasan dengan Pak Ahmad, guru TI. Pak Ahmad meminta bantuan Spora untuk membawakan beberapa buku ke laboratorium komputer. Tanpa basa-basi Spora mengiayakan permintaan gurunya dan langsung bertolak ke lab.

Ruangan ini juga sama, gelap, pikir Spora. Tak menyukai keadaan ini, Spora buru-buru menaruh buku di meja guru. Dilihatnya sekeliling sebelum ia meninggalkan lab, tampak sesosok yang sempat membuat matanya terbelalak, Laverna. Anak ini ngapain disini? Basecamp nya pindah?, pikir Spora. Ia langsung menghampiri Laverna yang tengah asyik mengoperasikan photoshop.

“heh ngapain diisini? Aku muter-muter nyari di perpus tau!”, omel Spora pada Laverna.
Merasa tindakannya ketahuan orang lain, ia nyengir ke arah Spora.
“hehehe, iseng doang main disini. Bosen di perpus”, elak Laverna dan langsung mengajak Spora keluar.

Spora hanya memberikan muka masam pada Laverna dan meninggalkan Laverna yang masih berusaha mematikan komputer. Bel masuk tiba-tiba berbunyi. Kebetulan sekali, pikirnya. Ia lalu mempercepat langkah keluar ruangan dan jongkok, berusaha memakai sepatunya. Selesai memakai sepatu, ia mendongak ke atas dan berdiri.

Tatapannya terkunci oleh kehadiran Rino yang berdiri tepat didepannya. Patah hati dan move on hanya sebuah judul untuk cerita yang tidak akan usai. Jantung Spora memompa darah begitu cepat, bahkan nafasnya hampir tersengal. Sebisa mungkin ia berusaha tidak ketauan Rino sedang gugup, meskipun semua orang dapat melihat dengan jelas betapa gugupnya Spora.

Masih dalam tatap yang saling mengunci, tiba-tiba Spora terkaget. Rambutnya yang diikat belakang, ditarik oleh seseorang. Badannya yang tidak menerima aba-aba ikut tertarik searah yang menariknya dan berlalulah ia meninggalkan tatapan Rino.

“Yaelah, drama deh, lama!”, Laverna menarik rambut Spora dan gamblangnya ia mengucap sepatah kata itu. Tentu saja ia berakhir dimarahi oleh Spora. Ulah Laverna yang membuat Spora kesal sudah tentu akan membuat Spora lupa mengapa basecamp Laverna pindah ke lab. Untung saja tadi aku ngga kepergok Spora, batin Laverna.
...


Bab 1 : Daftar?


Kisah ini menceritakan tentang dua gadis bersahabat yang memiliki kepribadian berbeda. Yang satu bernama Spora sedangkan yang lainnya bernama Laverna. Cerita akan author mulai dari perkenalan mereka.

Awal mula pertemuan mereka ialah saat pendaftaran SMA.
Pagi-pagi sekali Spora sudah berangkat dari rumah. “Ngeeek”, ibu Spora membuka pintu kamar Spora. Dilihatnya seprai tempat tidur berantakan, bantal berjatuhan di lantai, dan beberapa baju tampak berserakan di atas tempat tidur.
“Hmmm”, ibu Spora berdeham kemudian berteriak memanggil anak keduanya. Adik Spora tergesa-gesa menghampiri ibunya lalu ia berakhir merapikan kamar Spora.

Sementara itu, Spora sudah memasang kuda-kuda siaga untuk menembus kerumunan pendaftar.
“Hmmm, sekolah ini ramai sekali, padahal aku sudah datang pukul 10.00”, desis Spora yang tengah berdiri memandangi kantor guru, tempat pendaftaran siswa baru.
“Aku saja yang sudah datang dari jam 08.30 belum berhasil registrasi. Sudah, masuk sana, ambil nomor antrian lalu keluar dan menunggu disini”, kata seorang anak yang tiba-tiba hadir di samping Spora.

Spora hanya melongo dan memandang dengan ekspresi bingung pada orang yang berdiri tepat di sebelah kirinya. Gadis itu balik melihatnya dan mengangkat kedua alisnya, lalu mengayunkan dagunya kedepan dan melempar lirikan kearah keramaian yang sedang mereka bicarakan. Tanpa kata, Spora mengangguk dan berlalu meninggalkan gadis itu menuju kantor,mengambil nomor antrian.

“Nama saya Spora”, ucap Spora yang mengulurkan tangannya menjabat Laverna, sekeluarnya ia dari kantor guru. Sementara itu, tangan kirinya memegang nomor antrian.
“Aku Laverna. Dapat nomor antrian berapa?”, jawab Laverna dengan santai.
“Emmm, aku... 300”, jawab Spora dengan nada sedih.
“Kenapa? Santaaai, aku aja dapat nomor urut 400”, hibur Laverna dengan wajah polosnya.
Spora spontan mengernyitkan dahinya dan matanya terbelalak. Tak ketinggalan mulutnya pun ikut menganga, tepat, ekspresi kaget yang sempurna, pikirnya.
“Haaah? Kok bisa? Bukannya kamu datang duluan? Kok?” tanya Spora penasaran.
“Ya gampang, aku minta nomor antrian 400 sama ibu-ibu yang jaga meja registrasi”, sela Laverna.

“Tapi kenapa? Males banget kan nunggu lama-lama, terus kamu malah minta nomor antrian 400, ini gak masuk akal”, ungkap Spora atas ketidakpercayaannya. Teman barunya ini sedikit aneh, pikir Spora.
“Eh mau diceritain disini banget? Gimana kita pergi aja cari makan, laper nih belum sarapan”, ajak Laverna. Spora dan Laverna lalu meninggalkan sekolah dan keramaiannya, mengantongi nomor antrian yang masih panjang.
...
“Bun, udah kenapa merepet nya. Yaudah nggak apa-apa. Kan kamar kakak udah adek rapihkan”, pinta Amsal pada ibunya.
“Iya. Tapi kalau dibiarkan terus-terusan gak tobat-tobat kakakmu itu. Tiap hari lah, selama liburan nggak pernah bangun pagi. Sekalinya bangun pagi gak bilang-bilang kemana ngilangnya, hp ditinggal, kamar beserak, bukan tau mau bantuin bunda. Anak gadis tapi malasnya bukan main. Tengok aja nanti, kalo gak berubah, bunda pindahkan dia ke asrama. Biar dirasakannya masakan yang gak enak, biar nyuci sendiri dia, nggosok baju sendiri, semua sendiri, biar dirasakannya. Anak gadis kok malas kali”, begitulah ocehan bunda Spora yang diluapkan pada Amsal, adik Spora.

Ini kenapa kayak jadi agenda balas dendam ibu sama anak, pikir Amsal. Namun apapun yang terjadi, semalas apapun Spora melakukan pekerjaan rumah, jika Spora dipindahkan sekolah, maka semua pekerjaannya jatuh ke Amsal. Ini merupakan mimpi terburuk sepanjang hayatnya.
“Ini lagi anak satu, bundanya ngajak ngobrol malah ditinggal pigi. Mau diikutnya PL kakaknya itu....”, bunda melanjutkan omelannya dan kali ini Amsal yang menjadi targetnya.
...
Dua mangkuk bakso sudah tersaji di meja Spora dan Laverna serta segelas es teh manis pesanan Laverna, juga Jus Jeruk pesanan Spora. Mereka mulai melahap makanan yang sudah siap santap itu.
“Ceritakan”, pinta Spora membuka obrolan.

Laverna tampak bingung, ia diam sejenak. Nampaknya Spora tidak memberikan cukup clue pada Laverna. Ia masih tampak bingung dengan permintaan Spora. Apa yang harus diceritakan, pikirnya.
“Alah, loading. Tadi loh, antrian 400. Katanya mau nyeritain”, desak Spora.

“Oooh itu, hahaha. Jadi pas aku masuk ruangan, rame kali kan. Beberapa anak yang ada disana itu desak-desakan ambil nomor antrian trus mereka dimarahin sama penjaga registrasi, tau sendiri lah ibuk-ibuk gampang kali tepancing kan”, Laverna menyeruput es teh yang ada di mejanya sebelum melanjutkan ceritanya.

“Nah, abis marahin anak-anak itu, aku nyamperin mejanya minta nomor antrian. Terus disemprotnya aku, katanya ini lagi mau ngapain, mau maksa-maksa daftar sekarang, desak-desakan gak sabar, kan ada nomor antrian, nanti kan di panggil, gitu katanya. Emmh, emosi pula aku Spor, ku bilang lah enggak buk, saya mau ambil nomor antrian, saya sabar nungguin kok nggak bikin rusuh desak-desakan, bak mari buk nomor antrian 400. Saya tunggu buk, saya tunggu. Abis itu apa pikirmu? Tediam ibuk itu hahahaha”, Laverna tertawa sepuasnya bak penyihir yang telah berhasil mengalahkan peri baik menjalankan tugasnya.

Spora hanya memandang Laverna dengan tatapan tidak mengerti. Ia tidak mengerti apa yang dipikirkan teman barunya ini. Dibelakang Spora ditemukannya hal aneh. Kini Spora tampak tak nyaman dengan tempat duduknya. Berkali-kali ia meminta Laverna untuk duduk sejajar, tepat didepannya. Tetapi beberapa saat kemudian, ia meminta Laverna untuk bergeser lagi ke arah kiri. Laverna mencium baru ketidak beresan atas tingkah teman barunya.
“kenapa sih dari tadi nyuruh geser-geser terus?”, tanya Laverna agak kesal.
“itu, abang-abang baksonya nengok’in mulu. Kayanya dia in heart deh”, jawab Spora dengan wajah yang sedikit mesem-mesem.

“Hahahaha, mana ada. Itu ko makannya belepotan kawan. Nah tengok lah ini”, Laverna terbahak mendengar ungkapan Spora, sembari memberikan kaca pada Spora. 
“Sekalian itu muka dibedakin, udah kumal. Tadi pagi emang nggak bedakan?”, tambah Laverna.

Spora hanya menundukkan pandangannya, mengambil tisu lalu membersihkan bagian yang belepotan di wajahnya. Selepas itu ia membedaki wajahnya yang masih berkeringat. Merasa wajahnya lebih baik, dengan percaya diri Spora mengadahkan wajahnya lagi. Dan menyunggingkan senyum terbaiknya pada Laverna.

Laverna terbelalak melihat rupa temannya yang satu ini, tak lama kemudian tawanya pun pecah.
“Ya ampun Spora, padahal udah dikasi kaca loh. Gak bisa sekalian kaca’an apa? Liat itu muka, bedakmu jamuran gitu. hahaha”, komentar Laverna.
Mendengar ungkapan Laverna, tanpa ragu Spora menarik tisu sebanyaknya dan mengelap bedak yang sudah ia oleskan di wajahnya.

“Ngomong-ngomong jamur, ko tau Lav, kenapa namaku Spora?”, tanya Spora yang mencoba mengakrabkan dirinya dengan Laverna.
“Biar ku tebak, gara-gara ibumu sering makan jamur pas hamil?”, jawab Laverna dengan santai.
Haah, batin Spora yang terkaget-kaget mendengar tebakan temannya. Bagaimana dia bisa tau, pikir Spora.

“Itu muka nggak usah sok-sok mikir kenapa aku tau lah. Udah jelas pasti ibumu suka makan jamur, kalo ko yang makan jamur, bukan namamu yang Spora, tapi nama anakmu”, jelas Laverna.

“Hahahaha”, Spora tertawa mendengar penjelasan Laverna. 
“Ceritain juga Lav, kenapa namamu Laverna. Itu kan tokoh jahat di kartun Barbie. Ibumu dulu pas hamil hobinya nonton Barbie? Hahaha”, canda Spora pada Laverna.

“Sebenernya namaku bukan Laverna, Spor. Itu aku aja yang bikin. Soalnya aku kan anaknya jail gitu, ya agak nakal sikit lah. Jadi nama asliku bersebrangan kali sama kelakuanku hahaha. Makanya aku ganti, trus terinspirasi pas nonton Barbie”, jelas Laverna dengan bangga atas nama buatannya itu.

“Terus nama aslimu apa?”, tanya Spora penasaran.
“Hmmmm, many, Spor. Cuma ngga usah panggil gitu. Agak gimana gitu kayaknya”, ungkap Laverna berbisik.

Spora dengan wajah polosnya terus memperhatikan dan mendengarkan cerita Laverna dengan seksama. “ Ooohh iya yaa, kalo dipanggil many, kayak Bahasa Inggris yaa, artinya banyak. Jadi berasa ko tu ada banyak, Lav?”, telisik Spora pada cerita Laverna.

Laverna hanya menyunggingkan senyumnya dan mengangkat alisnya berkali-kali. Spora pun menganggukkan kepalanya tanda mengerti.
Tanpa terasa mereka bercuap cukup lama. Merasa sudah seharusnya beranjak, Laverna membayar tagihan lalu mereka meninggalkan kafe itu.

“Lav, kita singgah di masjid dulu ya, udah Zuhur nih”, pinta Spora di tengah perjalanan mereka menuju sekolah. Laverna mengangguk tanda setuju. Akhirnya Laverna menepikan motor.
“Yuk”, ajak Spora.
“Aku nunggu di sini aja”, tolak Laverna.
“kamu....?”, belum selesai Spora bertanya, Laverna spontan mengangguk, mengiakan pertanyaan Spora.
...
“kenapa dek?”, tanya Novol pada Laverna. Adiknya yang pagi-pagi sekali bersemangat akan pendaftaran SMA nya sekarang pulang dengan wajah tertekuk lemas.
“Aku gak jadi daftar bang, dapet antrian 400. Terus aku tinggal pigi aja, eh pas balek udah tutup pendaftarannya. Katanya hari pertama setengah hari aja, besok sampe seterusnya baru sampe sore”, jelas Laverna pada Novol.
“Tumben kali kesal? Biasanya santai aja. Ko kan orang paling santai”, ejek Novol pada adiknya.

“Memang bukan gara-gara itu bang sebelnya. Tadi aku dapat kawan baru kan, jadi aku ngajak dia makan dulu sambil nunggu antrian yang panjang itu. Gak terasa udah siang, jadi buru-buru lah kami pigi. Dijalan dia teringat kalo belom solat, jadi singgah dulu kami di masjid. Aku nunggu dia lah di luar masjid, terus abang tau? Laaaaama kali dia solatnya bang. Bayangkan lah ampir sejam aku nunggu dia bang. Udah di luar panas, aku gak bawa jaket pula, tambah itam la aku ini”, keluh Laverna panjang lebar pada abangnya.

Alih-alih mendapat perhatian dari Novol, Laverna ditinggal main PS. Kesal dengan kelakuan abangnya, ia berjalan mendekati TV lalu mencabut kabel, seketika itu TV pun mati. Novol yang tengah asik dengan permainannya merasa kesal lalu melempar bantal sofa ke arah Laverna.
“Mini-mini Many, minggir sana! Ganggu aja”, usir Novol.
Laverna kesal pada abangnya yang sok perhatian tetapi acuh. Ia kemudian beranjak dari tempatnya berdiri, melangkah ke arah Novol dan dengan sergap ia menjambak jambul abangnya. Bersamaan setelah adegan itu, jerit Novol dan tawa Laverna pecah bersama.
...


Selasa, 21 Juni 2016

Travelling ke Green Canyon dan Pantai Pangandaran (Pangandaran Beach)

Afternoon everyone J
Today  i would like to share my trip to Pangandaran. Do u know Pangandaran? Yass, it’s beach, Pangandaran Beach.

I was really excited to know that if America has Grand Canyon and Indonesia has Green Canyon (it is how they call it). Actually they call it Green Canyon because it is almost similar to Grand Canyon. I really wanted to go there since i was in 4th semester and i could really go there in the end of 7th semester. 

Sabtu, 18 Juni 2016

Memecah Puasa

Pecahkan saja puasanya, dengan ramai....
Yuhuuu ngga tau kenapa milih jargon itu, kayanya saya akhir-akhir ini lagi akrab sama yang "pecah-pecah", sama yang "hancur-hancur", hahaha.
Oke, back to the topic, ini postingan pertama saya setelah amat sangat lama *versisaya* engga nulis di blog. Terakhir di update itu setahun lalu, 2015. Kangen ngga, nulis di blog? KANGEN BANGET!
Tapi saya bukan tipe orang yang kangenan sih, jadi diganti aja, lebih tepatnya bukan kangen. Kasian aja gitu blog nya udah setahun ga diapa-apain.
Aku aja kesel kalo ngga diapa-apain kamu... (re: dianggurin, didiemin, dicuekin, delele. Wakak)

Mulai dari sekarang insyaAllah saya akan konsisten dan istiqomah "ngapa-ngapain" si blog ini :D

Well, ini cerita tentang perjalanan saya bersama teman-teman FLPC dalam acara buka bersama (apanya yang dibuka?), oke saya ralat, buka puasa bersama dan santunan anak yatim yang diadakan oleh FLP Wilayah Jakarta Raya.
Kalau teman-teman ada yang belum tau FLP itu apa, saya jelaskan terlebih dahulu. FLP itu adalah organisasi kepenulisan dengan kepanjangan nama Forum Lingkar Pena. Alhamdulillah saya sekarang bergabung dengan FLP cabang Ciputat (FLPC).

Sabtu, 18 Juni 2016, Saya dan ketua FLP Ciputat memenuhi undangan FLP Wilayah Jakarta Raya dalam acara Buka bersama dan santunan anak yatim. Senior FLP Ciputat, Alma Syaluna, yang ditemani suami pun turut hadir dalam acara ini. Rombongan FLP Ciputat sampai di sekretariat FLP wilayah tepat 15 menit sebelum berbuka puasa. Agenda yang tengah berlangsung saat itu ialah santunan anak yatim.
            Beberapa anak yatim yang sudah berkumpul diberikan santunan, RT setempat juga terlihat hadir dalam acara yang berlangsung dua hari ini. Sambil menunggu waktu berbuka tiba, perwakilan dari FLP Wilayah memberikan tausiah mengenai berbakti pada orang tua. Tampak senyum yang tersungging dari anak-anak itu kala pemberi tausiah mengajak mereka bercanda.
            Acara tersebut dihadiri oleh beberapa perwakilan FLP Cabang, yakni FLP Ciputat, FLP Bogor, FLP Bekasi, dan FLP Jakarta. Perwakilan FLP Ciputat yaitu dua orang pengurus dan 2 orang senior. Sedangkn anggota yang mewakili FLP cabang lainnya cukup banyak.
            Agenda setelah buka puasa bersama dan santunan adalah penyampaian materi “membumikan sastra Qur’ani”. Sebelum masuk kepada pemberian materi, seluruh peserta undangan dipersilahkan shalat terlebih dahulu. Setelah peserta selesai melakukan ibadah shalat maghrib, shalat isya’ dan shalat tarawih, barulah acara dimulai.
            Membumikan sastra Qur’ani, materi yang akan dishare dan didiskusikan malam ini. Sekilas pasti terbesit dalam benak semua peserta. Sastra Qur’ani, apa bedanya dengan sastra yang lain? Ada berapa jenis sastra? Sama seperti Sastra Islami, yang menyampaikan nilai-nilai keislaman dan nilai-nilai kebaikan dalam isinya, sastra Qur’ani juga merupakan sastra yang mengandung atau menyampaikan nilai-nilai yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Sebagai seorang penyair atau pembuat karya, maka yang menjadi pr besar untuk membumikan sastra Qur’ani ialah penulis harus faham akan nilai-nilai yang ada dalam kandungan Al-Qur’an dan mengemasnya menajdi tulisan yang tidak secara harfiah memindahkan arti dari ayat-ayat al-Qur’an tersebut.
            Waaah udah mulai berat nih, sekarang kita pake bahasa santai aja yaah, udah berasa buat report nih saya padahal cuma cerita aja. Jadi, sebagai penulis, kita harus pintar membuat karya yang mengandung nilai-nilai Qur’ani. Tetapi tidak juga kita copy paste arti dan ayat al-Qur’an secara gamblang (meskipun itu tidak dilarang). Emm, sebagai contoh gini deh…
            Misalkan ada sebuah cerita mengenai hutan larangan. Penulis membuat cerita sedemikian rupa sehingga karena hutan tersebut merupakan hutan larangan, maka tidak dibuka untuk umum apalagi warga dengan semena-mena menebang pohon-pohon di hutan. Sekilas mungkin terlihat ini adalah cerita horor atau mistis, tetapi kita tilik nilai yang hendak ditanamkan oleh penulis, yakni nilai atau kandungan ekologis. Bahwa hutan sebagai pemasok oksigen dan sebagai sirkulasi air, yang menjadi tanggul “banjir” ketika hujan lebat menyergap. Kesan hutan larangan ini yang membuat persepsi warga, masyarakat atau orang-orang untuk tidak mengganggu hutan.
Menurut saya, ini sangat cerdas. Waaah, diskusi malam itu menyenangkan, meskipun saya tidak banyak bicara dan hanya mencatat materi yang disampaikan Mas Sudiyanto, Ketua FLP Wilayah Jakarta Raya. Dan inilah pr kami sebagai penulis
            Acara buka bersama ini sangat menyenangkan, saya ketemu lagi dengan kaka-kaka ketjeh dari Bogor. Ahhh, long time no see ternyata mereka masih ingat dan nambah satu orang cewe chantique lagi yang dateng. They’re such kind and friendly. Bisa aja gituh langsung akrab baru sekali jumpaaaa.
            Waitin’ for the next meeting you kaka-kaka….

Segini aja deh ceritanya, kalo diceritain sampe abis ntar saya ketauan nakalnya :D

Sabtu, 11 Januari 2014

Cerpen-ceritanya Islami-

KIBAR JILBAB ANISSA

11.15 am: Anissa dan Natasha sedang berada diruang guru BP untuk di interogasi mengenai perkelahian yang mereka lakukan pagi tadi.
“ceritakan kejadiannya” pinta bu Alya, si guru BP. Lalu Natasha angkat bicara “Anissa menampar pipi saya bu, lalu saya balas menamparnya”.
“kenapa kamu menampar Natasha, Anissa?” Tanya bu Alya. Anissa menjawab singkat “karena dia menjambak rambut saya bu”. Kembali lagi bu Alya bertanya kepada Natasha, “kenapa kamu menampar Anissa?”. Natsha kembali lagi menjawab, “karena Anissa menjambak rambut saya duluan bu”. Bu Alya bertanya lagi pada Anissa, “ kenapa kamu menjambak rambut Natasha?”. Lalu Anissa menjawab dengan enteng, “karena saya lagi pingin menjambak rambut orang bu, ketika saya lihat rambut Natasha yang panjang dengan gulungan-gulungan seperti itu menambah keinginan saya untuk menariknya”. Tanpa sempat bu Alya bicara, Natasha langsung menimpali perkataan Anissa, “ini namanya di sosis, bukan digulung-gulung, Lahir!”.
Anissa kembali membalas Natasha, “tuh bu Alya, rambutnya disosis kata dia, masih untung saya ingin menjambaknya, kalau saya ingin menggorengnya bagaimana coba?”. Bu Alya angkat bicara sembari menahan tawa kecilnya. “Hmmm, cukup Anissa. Kamu jail sekali, jangan mengganggu teman-teman mu lagi, ibu sudah capek menghadapi hal seperti ini. Kamu sudah berulang kali ibu nasihati, tetapi belum juga berubah. Setiap habis dinasihati, selalu bilang tidak akan mengulang, tetapi masih saja di ulang. Sudah, kali ini tidak ada toleransi lagi, ibu akan memanggil orang tua kamu”. Kembali lagi Anissa menjawab enteng, “silahkan saja ibu panggil orang tua saya, saya yakin mereka tidak akan datang. Paling-paling bi Mira yang akan datang”, lalu ia meninggalkan ruangan itu tanpa permisi.
“Baiklah Natasha, kamu bisa kembali ke kelas sekarang, lain kali kamu perhatikan penampilan kamu, kamu masih SMA. Tujuan kamu ke sekolah adalah untuk belajar, bukan untuk fashion show, bergaya lah sesuai dengan gaya anak anak sekolah yang wajar.” Bu alya menasihati Natasha. “baik bu, akan saya pertimbangkan nasihat ibu, permisi”, jawab Natasha.
            Selanjutnya pak Mundzier menghampiri bu Alya untuk menanyakan kasus muridnya, Anissa dan Alya. “bagaimana soal perkelahian tadi bu?” Tanya si wali kelas. “oh, sudah beres pak, saya berencana memanggil orang tua Anissa pak, tetapi anak itu bilang bahwa orang tuanya pasti tidak akan datang. Bagaimana menurut bapak?”. “ia bu, saya juga yakin kalau orang tua Anissa tidak akan datang, ayah dan ibunya sama-sama orang sibuk, sering sekali keluar kota, bahkan keluar negeri, karena ayahnya kan pengusaha furniture. Sedangkan ibunya juga aktif di yayasan sosial mereka”, jawab pak Mundzier.
“wah, kalau begitu orang tua Anissa benar-benar tidak mempedulikan tumbuh kembang Anissa ya pak”, tanya bu Alya. Pak Mundzier menjawab, “sebenarnya mereka peduli bu, dirumah Anissa kan ada pembantu. Abangnya Anissa juga menyempatkan untuk pulang kerumah setiap libur kuliah. Hanya saja, pekerjaan menuntut mereka jarang dirumah. Mereka menyewa jasa seorang guru ngaji untuk Anissa, sehingga guru ngaji ini dapat mengajari Anissa perihal agama dan juga menjaga Anissa. Tetapi ya begitu lah bu, mungkin Karena memang dari awalnya sudah merasa kurang perhatian, dia sering bolos belajar ngajinya”. “kalau begitu, anak ini harus benar-benar dibantu pak”, timpal bu Alya. “ia bu, saya setuju. Jangan sampai Anissa berkembang dengan sifat buruknya ini”, jawab pak Mundzier.
            Sementara Pak Mundzier masih berbincang-bincang dengan Bu Alya, Anissa dan Natasha sudah berada dikelas kembali. Saat itu sedang berlangsung pelajaran Biologi. Bu guru menjelaskan materi Klasifikasi Hewan dan Tumbuhan. Bu Herawati menjelaskan bahwa Kingdom Animalia dikelompokkan kedalam beberapa filum, yaitu: Protozoa, Porifera, Coelenterata, Platyhelminthes, Nemathelminthes, Annelida, Mollusca, Echinodermata, Arthropoda dan Cordata. Sedangkan klasifikasi tumbuhan yaitu: 1)Kingdom Monera yang terdiri dari Schizophyta dan Canophyta; 2)Kingdom Fungi, terdiri dari: Oomycotina, Zigomycotina, Ascomycotina, Basidiomycotina, dan Deutromycotina; dan yang ke 3)Kingdom Animalia terdiri atas Algae, Bryophyta, Pteridhopyta, dan Spermatozoa. Kelas semakin ramai saat bu Herawati menugaskan siswa-siswa untuk membuat peta konsep Klasifikasi Hewan dan Tumbuhan.
Teeeeeeeeeeeeet, bel istirahat berbunyi, sekarang jam menunjukkan pukul 01.05 pm. Anissa berdiri dari kursinya bergegas hendak pergi ke kantin, lalu Hanafi melewatinya. “Hanafi, lo mau kemana?”, Tanya Anissa. “Ya mau shalat lah, emang aku kamu, gak shalat!”, jawab Hanafi. Anissa diam sejenak, “Eh lo sembarangan ya! Gu.. uu..e shalat kok”, tambahnya. Lalu Hanafi melangkah mendekati Anissa sampai mereka hanya berjarak sejengkal. Annisa mulai gerogi dengan tingkah Hanafi. Annisa mulai bingung dan memejamkan matanya,“aku mau ngasi saran, kenapa kamu gak pake jilbab aja? Dengan begitu kan kamu bebas bisa ngejambak rambut Natasha tanpa kena jambak balik”. Dhuaaar... ternyata di luar ekspektasi, Annisa langsung membuka matanya dan dengan lantang menjawab, “terimakasih atas ide anda saudara. Tetapi, jauhkan terlebih dahulu wajah anda dari wajah saya. Minggir lo, awas gue mau shalat”, kata Anissa sembari pergi meninggalkan Hanafi. Dijalan, Anissa berfikir kenapa Hanafi memberinya saran seperti itu, padahal seperti yang Anissa tau Hanafi adalah anak yang baik, lulusan pesantren pula waktu SMP dulu. Apa yang salah dengannya? Mengapa dia menyuruh memakai jilbab dengan tujuan yang tidak baik? Anissa memutar-mutar otaknya untuk menemukan alasan Hanafi. 
17.03 pm: Anissa tiba dirumah dan berteriak “Aku pulaaaaang”. Guru ngaji Anissa sudah menunggu Anissa dirumah, “biasakan mengucap salam sebelum memasuki ruangan!” kata bu Andini. Anissa kaget dan terdiam lalu menjawab, “ia bu, assalamualaikum”. “Waalaikum salam” jawab bu Andini, lalu bu Andini menambahi lagi “Mau sampai kapan kamu buat saya menunggu, Anissa? Sudah dari pukul tiga saya disini, karena seharusnya kamu sudah pulang pukul dua. Tetapi kenapa baru sampai rumah pukul lima?”
“saya jalan-jalan dulu bu sama Angel, maaf”, jawab Anissa. Bu Andini menambahi, “baiklah saya maafkan, tetapi lain kali saya sangat berharap kamu ubah atitut kamu itu Anissa. Tugas saya disini adalah untuk membimbing kamu. Satu tahun sudah kamu saya bimbing, tetapi masih saja kamu tidak menunjukkan perubahan. Kamu masih jadi Anissa yang egois, tidak memikirkan perasaan orang lain, kamu masih menjadi Anissa yang selalu menyia-nyiakan waktu. Ingatkan kamu Qur’an Surah Al-Ashr? Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian; kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. Jadi saya mohon, rubah sikap kamu Anisaa, fikirkan orang tua kamu, apa kamu tidak pernah berfikir bagaimana perasaan mereka jika kamu mengecewakan mereka.”
Anissa lalu menjawab, “baiklah bu, pertama-tama dengan ibu berbicara sepanjang itu sudah membuang waktu, selanjutnya orang tua saya saja tidak memikirkan saya dengan kepergian mereka terus menerus begitu. Dan satu hal lagi, kalaupun saya berubah, perubahan saya itu bukan untuk orang tua saya, melainkan untuk ibu. Baik, saya permisi mau shalat Ashar dulu”, Anissa bergegas kekamarnya dan meninggalkan Bu Andini di ruang Tamu. Bu Andini terdiam mendengar statement Anissa.~
            “Kamu mau minum, sayang?” sapa Rida, sambil menawarkan sebotol Aqua dingin. “Rida, jangan panggil saya dengan sebutan seperti itu”, Rean langsung membenahi laptopnya dan bergegas pergi. “oke, oke, aku minta maaf, tetapi apakah salah jika aku mengekspresikan rasa sayangku padamu?” henti Rida. Lalu Rean menjawab, “sebaiknya ekspresikan saja dulu rasa sayang itu pada orang tuamu, ku dengar kamu sedang berkonflik dengan mereka.” Rida yang merasa disudutkan langsung menyela Rean, “jangan campuri urusan pribadiku!”. “sungguh bukan wanita dengan tabiat seperti itu yang aku inginkan menjadi permaisuri hatiku, Assalamualaikum”, jawab Rean kembali. Rida yang saat itu benar-benar merasa salah hanya bisa diam mendapati bahwa dirinya telah salah berkata dan bertindak. Sudah sirnalah keinginannya memenagkan hati Rean. Telah sirna empat tahun pengharapan Rida, empat tahun lalu saat pertama kali menjadi mahasiswa, pertama kali melihat Rean dan pertama kali itu hati Rida tertambat. Kini, dimatanya Rean berlalu meninggalkan sejuta kekecewaan. Rean, sembari berjalan menuju ke perpustakaan melewati Rida, ia membatin “maafkan aku Rida, engkau wanita baik, tetapi bukan wanita yang aku harapkan untuk menjadi pendampingku, kukira menjadi sahabat adalah status terbaik antara kita”.
Hp Rean berdering, ‘Rean, jangan lupa pulang dan lihat adikmu, Anissa. Jaga Anissa baik-baik, Mama dan Papa akan tiba di Jakarta Sabtu pagi, jadi akhir minggu ini kita bisa berkumpul bersama’ ternyata pesan dari ibu Rean. Ibu dan ayah Rean sedang berada di Paris, hunting bahan yang akan digunakan dalam pembuatan furniture perusahaannya. Rean teringat ternyata sekarang adalah hari Kamis, saatnya ia pulang kerumah. Mengunjungi Adik semata wayang yang –menurutnya- menyebalkan. Kembali lagi ia harus mengurusi adiknya yang kasar dan super melawan itu. Entah dengan cara apa apa lagi ia mengajari adiknya. Tetapi sebagai seorang kakak yang baik ia tetap harus berusaha membimbing adiknya menjadi pribadi yang lebih baik. Reanpun berencana pulang setelah menyelesaikan urusannya di Perpustakaan. Menyelesaikan urusan susun menyusun skripsinya.
Siang itu juga Rean membenahi barang-barang di kosannya dan bersiap-siap pulang kerumah tercinta di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Sesampainya dirumah, Rean mendapati adiknya sedang memakai hotpens dengan atasan kaos tanpa lengan, rambut ikalnya yang sebahu disimpul keatas, ia sedang menuruni tangga menuju dapur. Anissa melihat kakaknya baru sampai dan menyapanya, “hei bang lo baru datang? Kemana aja? Ga pernah ngabarin adek lo lagi? Ga kangen sama gue emang?”. Melihat pakaian adiknya dan mendengar kata-kata seperti itu Rean sontak marah besar. Ia tidak suka dengan sikap Anissa yang kasar dan sembrono, “Anissa, apa-apaan ini? Mama dan Papa menyewa guru kaji untuk kamu tapi apa hasilnya? Tidakkah kamu peka akan sikapmu itu Anissa? Berkali-kali abang katakan, berlakulah lemah lembut, jangan berbicara kasar seperti itu!”. Anissa menganggapi omongan abangnya dengan mengatakann bahwa bilang “lo” ataupun “gue” itu bukan hal yang kasar. Namun Rean tetap bersikeras menyadarkan adiknya, “apa pantas kamu menyapa abangmu dengan kata-kata seperti itu? Sangat tidak sopan. Mengapa kamu tumbuh menjadi gadis seburuk ini? Dari kecil orang tua kita mengajarkan agama kepadamu, melandasi imanmu dengan agama, agar kamu tumbuh menjadi anak yang berakhlak. Bukan menjadi anak yang kasar dan tidak tau menempatkan kata-kata seperti ini Anissa. Allah berfirman dalam surat Ali imran ayat 159, yakni ‘maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu berlaku keras lagi berhati kasar  tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu’. Berhati keras yaitu bertutur kata dengan kasar, seperti yang kamu lakukan tadi. Sadar, Allah sudah memberi kamu rahmat, jadi mengapa kamu masih berkata-kata kasar?”. Anissa hanya diam dan tertunduk, Rean melanjutkan kembali kata-katanya, “ketahuilah Anissa sayang ku, bertutur kata yang baik menjadi sebab mendapat ampunan Allah dan sebab masuk surga; lalu, mendapatkan kamar yang istimewa di surga kelak, dapat menggantikan sedekah, dan masih banyak yang lainnya. Maka, ayo dik mulai sekarang bertutur kata yang baik, ubah sikap kamu, kamu bukan lagi anak kecil Anissa, sebentar lagi kamu akan lulus SMA dan akan melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Jika masih berkata kasar seperti itu, bagaimana akan mendapat banyak teman? Sebaliknya, orang akan menjauhi kamu Anissa”. Anissa masih tertunduk dihadapan abangnya, tanpa ia sadari ternyata air matanya menetes. Rean tak pernah melakukan hal ini sebelumnya, ia merupakan sosok abang yang baik dan manis untuk Anissa. Tetapi dengan perubahan tindakan abangnya ini, Anissa menyadari bahwa perilakunya sudah berlebihan salah. Melihat adiknya berdiri tunduk seperti itu, Rean merasa iba. Rean menyuruh Anissa pergi kekamarnya dan memikirkan benar-benar apa yang di nasihatkan abangnya itu. Anissa pun segera pergi dari hadapan abangnya, sesampainya dikamar, Anissa menangis sejadi-jadinya. Saat itu pukul dua, gadis remaja ini masih terisak diatas tempat tidur berlapis bad cover berwarna cokelat kesayangannya. Anissa berfikir, ia memang salah, mengapa ia begitu buruk? Mengganggu Natasha dikelas padahal Natasha sendiri tidak pernah mengusiknya, berlaku tak sopan serta mengabaikan bu Alya dan pak Mundzier, meremehkan Hanafi, berkata kasar, berperilaku yang tidak semestinya anak perempuan-berpendidikan- lakukan. Anissa sadar Allah memberinya segala kemudahan, dan rahmat yang berlimpah, namun mengapa ia menyia-nyiakannya. Dadanya dipenuhi rasa sesak: menyesal akan ketololannya dan merasa terhakimi oleh perlakuan abangnya.~
Disekolah, Natasha dan Hanafi sedang membicarakan acara yang akan sekolah mereka adakan, dalam acara-Students in Talent-. Hanafi dan Natasha merupakan anak osis, begitupun dengan Angel, teman terdekat Anissa. Hanafi dan Natasha berencana mengadakan lomba Fashion, Natasha lah yang sangat berantusias dalam lomba ini. Mendengar hal itu, Angel berencana mendaftarkan Anissa sebagai peserta tanpa sepengetahuannya. Setelah rapat selesai, Angel menemui Hanafi dan memberi tahu  rencananya pada Hanafi. Namun Angel tak merasa yakin dengan idenya ini, karena idenya merupakan hal yang mungkin akan ditolak mentah-mentah oleh Anissa. Namun Hanafi sangat setuju dengan ide Angel dan meyakinkan Angel kalau Anissa pasti mau melakukan yang diinginkannya. Percakapan selesai setelah mereka membuat persetujuan.
Malam hari dirumah Anissa: Anissa turun dari kamarnya dengan mata bengap, dan Rean telah menunggunya di meja makan. Rean meminta maaf pada adiknya-yang sebelumnya tak pernah ditegurnya itu- jika tadi siang perkataannya sangat menyakiti hati Anissa. Tetapi Anissa yang sudah sadar akan kesalahannya tidak mempermasalahkan hal itu lagi. Menyadari adiknya sudah mengerti akan syara’, Rean angkat bicara lagi, “dan tadi siang juga abang lihat pakaian kamu terbuka sekali. Kamu kan sudah beranjak dewasa dek, jadi tentu tidaklah benar seorang gadis yang sudah baligh membuka auratnya, apa kamu tidak malu?”
“ia bang Anissa salah, kedepannya Nissa akan memperhatikan hal itu. Terimakasih abang sudah mengingatkan Nissa”, jawab Anissa.~
Keesokan harinya disekolah Anissa bertemu dengan Angel. Angel menceritakan pada Anissa bahwa akan diadakan acara lomba fashion show dan Angel telah mendaftarkan nama Anissa sebagai peserta. Anissa yang tidak tahu apa-apa hanya kaget. Anissa berusaha meyakinkan Angel bahwa ia tidak bisa mengikuti lomba ini karena dia bukan tipe gadis yang suka berdandan, bukan tipe gadis yang berjalan indah, melainkan gadis tomboy yang cuek akan penampilan. Namun sahabatnya itu membantah, dan malah sebaliknya menasihati Anissa bahwa dengan adanya kontes ini Anissa bisa berubah menjadi gadis yang peduli penampilan, dan bisa berubah menjadi sedikit lebih feminine. Akhirnya Anissa hanya bisa pasrah dengan keputusan Angel.
Tiba hari Sabtu, orang tua Anissa pulang ke Indonesia. Anissa dan Rean menjemput kedua orang tuanya di Bandara Internasional Soekarno-Hatta di terminal 3-arrivalnya kedatangan dari luar negeri-. Anissa lagsung memeluk mamanya saat bertemu, “Anissa rindu sekali dengan mama”, kata Anissa.  Rean tersenyum melihat tingkah Anissa itu, karena sebelum-sebelumnya saat mereka menjemput orang tua mereka tidaklah akan Anissa bertingkah manis, alih-alih berkata rindu, tersenyum pun ia tidak. Menyadari hal yang tak biasa ini, orang tua Anissa pun senang bukan kepalang.
Malam harinya mereka berencana keluar, karena sudah jarang bisa kumpul besama. Saat yang lain sudah berkumpul didalam mobil menunggu Anissa turun, maka saat Anissa turun adalah saat yang paling mengejutkan. Anissa turun memakai kemeja lengan panjang, dengan rok hitam bermotif bunga. Yang lebih mengejutkan lagi ia memakai jilbab. Mama Anissa kaget, “sayang, kamu…”, belum selesai ia bicara Anissa langsung memotong omongan mamanya, “ia Mah, kan dijelaskan dalam Surah Al-Ahzab ayat 59 ‘katakanlah hai Nabi, kepada isteri-isterimu, anak-anak gadismu, dan isteri-isteri orang beriman, hendaklah mereka menutupkan baju kurungnya kebadan mereka (waktu keluar rumah)”. Yang demikian lebih memudahkan untuk mengenal mereka dan mereka tidak akan diganggu. Dan Allah maha pengampun lagi Maha Penyayang’. Jadi, Anissa tidak punya alasan untuk membuka aurat Anissa kan ma”. “subhanallah sayang, mama bangga sama kamu”, jawab mama Anissa.~
Tibalah hari ‘H’ acara fashion show, Angel sudah siap untuk menjadi make overnya Anissa. Anissa yang tengah duduk sendiri diruang make up, mendapati seseorang masuk keruangan itu. Hanafi datang membawa sebuah tas kecil, lalu berkata, “jadilah Model muslimah, kerudung ini akan membuatmu tampak lebih indah”. Hanafi menaruh tas itu di meja, tanpa menunggu Anissa angkat bicara, Hanafi langsung pergi meninggalkan ruangan itu.
Angel datang dengan peralatan make up nya, selanjutnya ia sihir si tomboy Anissa menjadi bidadari. Indah sekali, Anissa menggunakan kebaya coklat berpayet merah dibalut kerudung merah marun yang diberi Hanafi. Menunggu giliran tampil, Anissa latihan berjalan ala catwalk, karena sebelumnya ia tidak pernah berjalan anggun. Urutan Anissa adalah setelah Natasha, gadis yang tempo hari rambutnya dijambak Anissa. Anissa terlihat glamour dengan gaun dan tatanan rambutnya. Tibalah giliran Anissa tampil. Ia berdiri diatas panggung, dilihatnya Papa, Mama, dan Rean duduk dikursi penonton. Disamping panggung, Hanafi tersenyum, tanpa basa basi Anissa lansung berjalan. Si cantik Anissa, terlihat lebih cantik lagi dengan jilbab yang berkibar akibat  efek angin yang ditimbulkan oleh tim koreo. Ia merasa senang, ia merasa dihargai, ia merasa terlindungi. Berhijab dapat menentramkan hatinya, ia dapat menjaga auratnya, namun tidak lantas ia menjadi pasif dengan berhijab. Sejak saat itu, Anissa tak pernah menanggalkan jilbabnya.~

Pashmina merah marun itu selalu tergantung rapi didalam lemarinya.